Keluh
Kesah Pendidikan dan Nasib Pertanian Indonesia
Di negara yang
menyebut dirinya sebagai negara agraris yakni Indonesia, sudah menjadi sebuah
fakta bahwa sampai sekarang kita belum memiliki ketahanan pangan yang memadai.
Berbagai wacana tentang swasembada , pengurangan, bahkan penghentian impor yang
terus bergulir selalu menemui batu sandungan akan kenyataan masih belum
cukupnya stok pangan di dalam negeri. Contohnya saja impor beras yang sudah
mulai dihentikan Bulog pada tahun 2013 dan janji tidak akan impor pada 2014
kini berhadapan dengan wacana pemerintah untuk memulai impor lagi pada July
2014 lalu dengan alasan banyaknya gagal panen tahun ini sehingga kebutuhan
lokal tidak tercukupi. Belum lagi jika kita menelaah bahan pangan lain seperti
daging dan kedelai, maka kenyataan masih lemahnya ketahanan pangan kita akan
semakin jelas tampak.
Saya adalah
seorang mahasiswi Agribisnis. Saya mengenyam pendidikan khusus di bidang
pertanian, peternakan, atau perikanan. Namun saya yang juga pernah tumbuh besar
di lingkungan masyarakat pertanian, merasa harus tetap prihatin mengenai salah
satu area yang menurut saya vital bagi kesejahteraan bangsa ini.
"Control the
oil and you control the nation, control the food and you control the
people."
-Henry Kissinger
Kutipan
pernyataan tersebut saya temukan ketika saya iseng membaca bahan kuliah teman
saya yang memang berkuliah di jurusan Agroteknologi. Sebuah temuan yang tidak
sengaja tetapi langsung mengingatkan saya betapa pentingnya 'urusan perut' bagi
semua orang tanpa terkecuali. Sebuah kebutuhan pokok yang jelas tidak bisa
ditawar-tawar lagi.
Masalah Pangan di Indonesia
Masalah yang
akan saya 'keluhkan' kali ini hal yang sudah pernah saya alami dan berhubungan
erat dengan ketahanan pangan yaitu pendidikan (terutama pra-perguruan tinggi)
dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi wajah salah satu bidang yang sangat
berhubungan dengan pangan yaitu pertanian di Indonesia. Berkurangnya Animo dan Pergeseran
Paradigma
Jadi apa sih
yang membuat animo masyarakat ke bidang pertanian berkurang sehingga istilah
yang tidak enak didengar tersebut bisa muncul? Pergeseran paradigma terutama
pada generasi muda saat ini, adalah hal yang paling jelas bagi saya.
Serangan
kapitalisme barat yang datang bersamaan dengan modernisasi tersebut membawa
budaya baru yang sangat bertentangan dengan budaya asli. Bagaikan terkena
culture shock, generasi muda terpana dengan berbagai peranti kapitalisme itu.
Mereka lebih senang pergi ke megamal, ketimbang mengurus sawah atau ladang.
Mereka lebih suka ke Indomart, Alfamart dan sentra kapitalis lainnya, ketimbang
ke pasar tradisional. Singkatnya, akibat pengaruh modernitas dan budaya
kapitalisme, tumbuh budaya gengsi di kalangan generasi muda, termasuk gengsi
bertani.
Dan ketika
saya bertanya pada sepupu saya yang sedang duduk di bangku SMP dan tinggal di
kampung yang orang tuanya juga kebetulan memiliki lahan sawah yang cukup luas,...
"Mau jadi apa nanti ketika
dewasa?"
"Jadi artis."
"Eh? Jadi artis
kenapa?"
"Artis tuh kan kaya-kaya dan
kerjanya pun gak susah-susah."
"Kenapa nggak sekolah
pertanian aja biar bisa memajukan usaha Umi dan Ayah?
"Nggak ah! bertani itu kan
kotor. Apa kata orang nanti kalau aku yang ganteng ini malah cuma jadi
petani?"
Karena budaya
gengsi itu, kata Collier (1996), generasi muda di perdesaan enggan bertani.
Bagi mereka, menjadi petani sama halnya menjadi rakyat kelas bawah. Apalagi
dengan adanya stigma miring tentang dunia pertanian yang sudah terbentuk selama
berabad-abad lamanya; sebagai usaha kecil yang kumuh, penuh risiko, dan
keuntungan amat kecil. Pelakunya juga tidak berdasi, bermobil, atau memiliki
kantor megah.
Pendidikan vs. Paradigma
Salah satu
sarana ampuh untuk menghadapi paradigma salah yang sudah mencemari generasi
muda kita adalah pendidikan. Pendidikan seharusnya mampu membentuk paradigma
baru yang lebih baik dan mengajarkan generasi muda untuk lebih bijak menghadapi
modernisasi dan globalisasi. Tetapi nyatanya ketika sekolah-sekolah di
Indonesia berlomba-lomba meningkatkan penerapan IT (Information and Technology)
dalam proses belajar mengajar, sepertinya terlupa akan pentingnya mengajarkan
kearifan untuk menghadapi kemajuan itu.
Anak-anak
terutama yang berada di pedesaan yang notabene tempat dimana area pertanian
tersebut kebanyakan berada, terbuai oleh kecanggihan teknologi dan kencangnya
arus informasi sehingga mulai enggan bertani dan lebih banyak memimpikan
kehidupan perkotaan yang terlihat gemerlap bagi mereka dari televisi, internet,
dan sumber informasi lainnya.
Selain itu di
sekolah-sekolah pada umumnya kecuali sekolah kejuruan, kurang dalam memberikan
bimbingan pada siswanya dalam memilih profesi masa depan. Pilihan profesi
anak-anak di generasi saya lebih condong untuk menjadi dokter, eksekutif,
pegawai, dan hanya sedikit yang memilih ke bidang pertanian.
Lembaga
bimbingan belajar sedikit banyak juga ikut bertanggung jawab akan berkurangnya
jumlah SDM unggul yang memasuki bidang pertanian, perikanan, peternakan, dsb.
Passing Grade sebagai indikator persen atau jumlah nilai soal yang harus
dijawab calon mahasiswa untuk dapat diterima di sebuah jurusan di PT (Perguruan
Tinggi) juga melahirkan sebuah paradigma baru di kalangan calon mahasiswa bahwa
semakin tinggi Passing Grade jurusan yang mereka pilih maka semakin
bergengsilah jurusan tersebut. Memang pemikiran tersebut tidak sepenuhnya
salah, tapi apakah mereka sudah mempertimbangkan lapangan kerjanya? Fakta
jurusan teknik sebagai jurusan yang paling banyak diminati dan juga paling
banyak jumlah dan macam jurusannya di Indonesia tidak menjadi lulusannya akan
berakhir di industri teknologi tersebut, kebanyakan lulusannya dihadapkan pada
kenyataan bahwa jumlah lapangan kerja yang tersedia tidak sebanding dengan
jumlah mereka dan banyak yang akhirnya tersesat bekerja di bank dan tidak bisa
lagi mengaplikasikan ilmu mereka.
Maaf saya
terlalu banyak mengeluh kali ini dan juga sering ngelantur kesana-kemari. Saya
juga merasa saya juga belum tentu sepenuhnya benar dan masih minim dalam
wawasan dan pengetahuan. Namun percayalah walaupun judul dari tulisan ini
adalah keluhan (ranting), saya tidak bermaksud untuk menyalahkan siapa-siapa
disini. Saya hanya ingin menumbuhkan kesadaran kita akan hal-hal yang terkadang
sudah mulai terlupakan.
Dan akhirnya
saya juga ingin minta maaf pada pihak-pihak yang mungkin tersinggung oleh
tulisan saya. Tidak maksud untuk sengaja menyinggung mengejek, atau
menjelek-jelekan sama sekali. Hanya ingin untuk saling mengingatkan dan
menyampaikan pendapat yang sifatnya masih subjektif.
Sekian
'keluhan' (ranting) saya buat minggu ini. Saya mengucapkan terima kasih pada
yang bersedia meluangkan waktunya untuk membaca tulisan ini. Silahkan kritik
dan sarannya selama tetap santun dan sopan.
-
Novia Ika Saputri J J
J
0 komentar:
Posting Komentar