=]

Rabu, 11 Mei 2016

Keluh Kesah Pendidikan dan Nasib Pertanian Indonesia



Keluh Kesah Pendidikan dan Nasib Pertanian Indonesia

Di negara yang menyebut dirinya sebagai negara agraris yakni Indonesia, sudah menjadi sebuah fakta bahwa sampai sekarang kita belum memiliki ketahanan pangan yang memadai. Berbagai wacana tentang swasembada , pengurangan, bahkan penghentian impor yang terus bergulir selalu menemui batu sandungan akan kenyataan masih belum cukupnya stok pangan di dalam negeri. Contohnya saja impor beras yang sudah mulai dihentikan Bulog pada tahun 2013 dan janji tidak akan impor pada 2014 kini berhadapan dengan wacana pemerintah untuk memulai impor lagi pada July 2014 lalu dengan alasan banyaknya gagal panen tahun ini sehingga kebutuhan lokal tidak tercukupi. Belum lagi jika kita menelaah bahan pangan lain seperti daging dan kedelai, maka kenyataan masih lemahnya ketahanan pangan kita akan semakin jelas tampak.

Saya adalah seorang mahasiswi Agribisnis. Saya mengenyam pendidikan khusus di bidang pertanian, peternakan, atau perikanan. Namun saya yang juga pernah tumbuh besar di lingkungan masyarakat pertanian, merasa harus tetap prihatin mengenai salah satu area yang menurut saya vital bagi kesejahteraan bangsa ini.

"Control the oil and you control the nation, control the food and you control the people."
-Henry Kissinger

Kutipan pernyataan tersebut saya temukan ketika saya iseng membaca bahan kuliah teman saya yang memang berkuliah di jurusan Agroteknologi. Sebuah temuan yang tidak sengaja tetapi langsung mengingatkan saya betapa pentingnya 'urusan perut' bagi semua orang tanpa terkecuali. Sebuah kebutuhan pokok yang jelas tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Masalah Pangan di Indonesia

Masalah yang akan saya 'keluhkan' kali ini hal yang sudah pernah saya alami dan berhubungan erat dengan ketahanan pangan yaitu pendidikan (terutama pra-perguruan tinggi) dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi wajah salah satu bidang yang sangat berhubungan dengan pangan yaitu pertanian di Indonesia. Berkurangnya Animo dan Pergeseran Paradigma



Jadi apa sih yang membuat animo masyarakat ke bidang pertanian berkurang sehingga istilah yang tidak enak didengar tersebut bisa muncul? Pergeseran paradigma terutama pada generasi muda saat ini, adalah hal yang paling jelas bagi saya.

Serangan kapitalisme barat yang datang bersamaan dengan modernisasi tersebut membawa budaya baru yang sangat bertentangan dengan budaya asli. Bagaikan terkena culture shock, generasi muda terpana dengan berbagai peranti kapitalisme itu. Mereka lebih senang pergi ke megamal, ketimbang mengurus sawah atau ladang. Mereka lebih suka ke Indomart, Alfamart dan sentra kapitalis lainnya, ketimbang ke pasar tradisional. Singkatnya, akibat pengaruh modernitas dan budaya kapitalisme, tumbuh budaya gengsi di kalangan generasi muda, termasuk gengsi bertani.

Dan ketika saya bertanya pada sepupu saya yang sedang duduk di bangku SMP dan tinggal di kampung yang orang tuanya juga kebetulan memiliki lahan sawah yang cukup luas,...
"Mau jadi apa nanti ketika dewasa?"
"Jadi artis."
"Eh? Jadi artis kenapa?"
"Artis tuh kan kaya-kaya dan kerjanya pun gak susah-susah."
"Kenapa nggak sekolah pertanian aja biar bisa memajukan usaha Umi dan Ayah?
"Nggak ah! bertani itu kan kotor. Apa kata orang nanti kalau aku yang ganteng ini malah cuma jadi petani?"


Karena budaya gengsi itu, kata Collier (1996), generasi muda di perdesaan enggan bertani. Bagi mereka, menjadi petani sama halnya menjadi rakyat kelas bawah. Apalagi dengan adanya stigma miring tentang dunia pertanian yang sudah terbentuk selama berabad-abad lamanya; sebagai usaha kecil yang kumuh, penuh risiko, dan keuntungan amat kecil. Pelakunya juga tidak berdasi, bermobil, atau memiliki kantor megah.

Pendidikan vs. Paradigma

Salah satu sarana ampuh untuk menghadapi paradigma salah yang sudah mencemari generasi muda kita adalah pendidikan. Pendidikan seharusnya mampu membentuk paradigma baru yang lebih baik dan mengajarkan generasi muda untuk lebih bijak menghadapi modernisasi dan globalisasi. Tetapi nyatanya ketika sekolah-sekolah di Indonesia berlomba-lomba meningkatkan penerapan IT (Information and Technology) dalam proses belajar mengajar, sepertinya terlupa akan pentingnya mengajarkan kearifan untuk menghadapi kemajuan itu.





Anak-anak terutama yang berada di pedesaan yang notabene tempat dimana area pertanian tersebut kebanyakan berada, terbuai oleh kecanggihan teknologi dan kencangnya arus informasi sehingga mulai enggan bertani dan lebih banyak memimpikan kehidupan perkotaan yang terlihat gemerlap bagi mereka dari televisi, internet, dan sumber informasi lainnya.

Selain itu di sekolah-sekolah pada umumnya kecuali sekolah kejuruan, kurang dalam memberikan bimbingan pada siswanya dalam memilih profesi masa depan. Pilihan profesi anak-anak di generasi saya lebih condong untuk menjadi dokter, eksekutif, pegawai, dan hanya sedikit yang memilih ke bidang pertanian.

Lembaga bimbingan belajar sedikit banyak juga ikut bertanggung jawab akan berkurangnya jumlah SDM unggul yang memasuki bidang pertanian, perikanan, peternakan, dsb. Passing Grade sebagai indikator persen atau jumlah nilai soal yang harus dijawab calon mahasiswa untuk dapat diterima di sebuah jurusan di PT (Perguruan Tinggi) juga melahirkan sebuah paradigma baru di kalangan calon mahasiswa bahwa semakin tinggi Passing Grade jurusan yang mereka pilih maka semakin bergengsilah jurusan tersebut. Memang pemikiran tersebut tidak sepenuhnya salah, tapi apakah mereka sudah mempertimbangkan lapangan kerjanya? Fakta jurusan teknik sebagai jurusan yang paling banyak diminati dan juga paling banyak jumlah dan macam jurusannya di Indonesia tidak menjadi lulusannya akan berakhir di industri teknologi tersebut, kebanyakan lulusannya dihadapkan pada kenyataan bahwa jumlah lapangan kerja yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah mereka dan banyak yang akhirnya tersesat bekerja di bank dan tidak bisa lagi mengaplikasikan ilmu mereka.

Maaf saya terlalu banyak mengeluh kali ini dan juga sering ngelantur kesana-kemari. Saya juga merasa saya juga belum tentu sepenuhnya benar dan masih minim dalam wawasan dan pengetahuan. Namun percayalah walaupun judul dari tulisan ini adalah keluhan (ranting), saya tidak bermaksud untuk menyalahkan siapa-siapa disini. Saya hanya ingin menumbuhkan kesadaran kita akan hal-hal yang terkadang sudah mulai terlupakan.

Dan akhirnya saya juga ingin minta maaf pada pihak-pihak yang mungkin tersinggung oleh tulisan saya. Tidak maksud untuk sengaja menyinggung mengejek, atau menjelek-jelekan sama sekali. Hanya ingin untuk saling mengingatkan dan menyampaikan pendapat yang sifatnya masih subjektif.

Sekian 'keluhan' (ranting) saya buat minggu ini. Saya mengucapkan terima kasih pada yang bersedia meluangkan waktunya untuk membaca tulisan ini. Silahkan kritik dan sarannya selama tetap santun dan sopan.

-          Novia Ika Saputri J J J

0 komentar:

Posting Komentar